Sabtu, 19 Maret 2011

HINDUISME DAN TERORISME: Analisis Paradigmatik Konsep Ahimsa Terhadap Terorisme


A.  Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk social yang tak dapat lepas dari sebuah interaksi sosial. Oleh karena itu, untuk terciptanya suatu tatanan interaksi sosial secara harmonis, khususnya sesama manusia, yakni dengan cara saling memahami “mutual understanding”. Lahirnya interaksi sosial yang berbasis kepada konsep mutual understanding, hal itu akan sedikit menetralisir terjadinya suatu problem atau konflik.  Segala persoalan atau konflik yang menyangkut urusan duniawi, itu sebenarnya tidak lantas dilemparkan kepada agama, melainkan kepada manusialah sepatutnya hal itu dilontarkan. Sebab, adanya eksistensi manusia di muka bumi, itu tidak lepas dari adanya dialektika hidup yang terus bernegasi dan berdialog, serta minimnya upaya untuk menuju kearah mutual understanding.
Ada satu ungkapan yang cukup mengena dengan pembahasan pada tema agama dan terorisme ini. Ungkapan tersebut dilontarkan oleh Thomas Hobbes yang menyatakan bahwa manusia yang satu adalah ancaman atau serigala bagi yang lainnya (homo homini lupus). (Sahirul Alim, 1996:64) Statement tersebut memang betul adanya ketika orang sudah tidak memandang orang lain sebagai wujud hidup yang juga bereksistensi dan berwatak. Tanpa identitas diri tersebut, manusia terkadang diidentikkan dengan benda mati oleh manusia lain. Artinya tidak ada suatu hubungan yang dialogis dari interaksi sosial tersebut, melainkan hanya menyulam hubungan yang penuh prejudice dan subjek-objek.
Setiap agama memiliki aspek etika atau tata susila yang mengatur moralitas umatnya dalam beraktifitas maupun bertindak. Pada sisi etika inilah yang nantinya akan dipertanyakan dan dianalisis lebih mendalam tentang bagaimana seorang umat itu dapat mengaplikasikan unsur etika yang dianutnya. Dalam hal ini, Hindu berasumsi bahwa tingkah laku atau tata susila itu merupakan peraturan tingkah laku yang baik dan mulia yang harus dijadikan pedoman hidup manusia. Tujuan tata susila adalah untuk membina perhubungan yang selaras atau perhubungan yang rukun antara seseorang (jiwatma) dengan makhluk yang hidup disekitarnya. (Ida Bagus Mantra, 1989:5) pandangan Hindu tentang tata susila tersebut menitik beratakan pada hubungan timbal balik yang selaras dan harmonis antara sesama manusia dengan alam semesta (lingkungan) yang berlandaskan pada korban suci (Yajna), keikhlasan, dan kasih sayang.
Pola hubungan tersebut adalah berprinsip Hindu pada ajaran Tat Twam Asi (Ia adalah engkau), bermakna bahwa semua makhluk  hidup sama, menolong orang lain berarti menolong diri sendiri, dan sebaliknya menyakiti orang lain berarti pula menyakiti diri sendiri. Oleh karena itu, patut nantinya untuk dikaji lebih mendalam mengenai pandangan etika Hindu terhadap terorisme. Apa dasar tata susila dari Hindu? Dan bagaimana cara pandang tata susila Hindu, hususnya konsep ahimsa terhadap terorisme saat ini? Point tersebut yang nantinya akan mengiringi pembahasan ini kedepan.

B.  Selayang pandang tentang Hindu
Sebagaimana telah diketahui bahwa agama Hindu merupakan agama tertua yang muncul di India. Kemunculan Hinduisme tersebut diperkirakan sekitar tahun 1800 BCE (before common era) di India, tetapi untuk dasar berdirinya agama Hindu belum pasti. Akan tetapi, kalau mengacu pada beberapa literatur yang ada menyatakan bahwa riwayat kemunculan Hindu tersebut terdapat pada suatu peradaban lembah sungai Indus. Kata Indus berasal dari bahasa Sansekerta untuk sungai Indus. Kemudia kata Indus, siddhu, tersebut oleh bangsa Persia kuno dilafalkan dengan sebutan Hindu. (Michel Keene, 2006:10).
Munculnya agama Hindu sangat mempengaruhi peradaban setelahnya. Karena disamping agama Hindu sebagai agama tertua, ia juga dibangung oleh dua peradaban besar, yakni peradaban Drawida dan Arya. Pada peradaban Drawida telah mengalami evolusi yang bisa dikatakan sangat signifikan terhadap perkembangan karakter dan identitas peradaban kedepan. Di mana mereka telah memiliki transportasi untuk melakukan transaksi pasar atau proses perdagangan. Masyarakatnya mayoritas lebih bersifat matriakhal dan tidak mengenal kasta. Dari aspek agama, mereka menyembah dewi yang diasumsikan sebagai ibu alam, selain itu juga menyembah binatang misalnya ular dan lembu. Sedangkan peradaban Arya merupakan peradaban yang belum memiliki peradaban yang Tinggi boleh dikata masih primitif. Bangsa setengah nomaden (pengembara), maka peternakan lebih tinggi daripada pertanian dan memiliki ilmu perang yang tinggi. Dalam bertani dan berdagang mereka banyak belajar dari bangsa Drawida. Binatang sangat dihargai bahkan dianggap suci, seperti lembu dan kuda. Sedangkan mengenai kitab-kitab suci agama Hindu tersebut dapat dikelompokkan kedalam dua garis besar, yakni kitab Sruti dan Smriti.(Michel Keene, 2006:20-21). Jadi, Hinduisme terbangun dari pertemuan antara dua peradaban yang bermula dari kemajuan Peradaban  Drawida, selanjutnya bangsa Arya sangat mendominasi terutama dalam budaya tulisan, bahkan penulisan Weda pun banyak didominasi peradaban Arya.[1]

C.  Pengurain makna terorisme
Sebelum membahas lebih jauh mengenai terorisme dalma perspektif Hindu, maka kiranya terlebih dahulu mengetahui secara universal definisi dari terorisme. Dalam pendefinisian atau pemakanan istilah terorisme, itu masih dapat dikatakan tidak ada suatu kemutlakan tertentu, artinya masih banyak asumsi-asumsi yang mencoba untuk mendefinisikan apa itu sebenarnya terorisme. Oleh karen itu, urain selanjutnya mencoba untuk memberi sebuah deskripsi terkait dengan pendefinisian terorisme.  
Menurut konvensi PBB tahun 1937, Terorisme merupakan segala bentuk tidak kekerasan atau kejahatan yang ditujuukan kepada negara dengan sebuah tujuan untuk menciptakan teror kepada suatu komunitas atau individu-individu terterntu dan masyarakat umum.[2] Bentuk tindakan seperti itu memang cukup konkrit untuk mendeskripsikan tentang penyebaran teror atau intimidasi yang dilakukan oleh seorang terorisme untuk membuat keresahan terhadap suatu golongan tertentu maupun masyarakat secara luas. Sehingga mereka menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan apa-apa yang dicita-citakan. Ketika sudah menyangkut peng-halal-an semua cara, itu sudah mencerminkan tidak adanya suatu batas-batas tertentu yang sebenarnya tidak boleh diteror, apalagi disakiti atau dibunuh.
Memang pada dasarnya segala tindak tanduk kekerasan atau terorisme, tidak serta merta harus dilimpahkan kepada agama semata, namun juga ada kaitannya dengan manusia sebagai insan yang agamis dan sosialis. Agama dan terorisme tidak selamanya selalu melekat. Terdapat faktor eksternal lainnya yang menyebabkan lahirnya terorisme, sepertihalnya faktor sosial-politik, ekonomi, dan budaya.
Menurut sebuah sumber dari Detasemen 88 Anti Teror menyatakan bahwa pelaku bom bunuh diri seperti halnya yang dilakukan oleh para terorisme merupakan tindakan yang hanya dilakukan oleh kelompok militan. Orang yang berani terbunuh dan menyerahkan segala attributnya dalam peristiwa seperti itu, pasti disebabkan aqidah atau keyakinan.  Karena sumber yang paling kuat untuk melahirkan keberanian seperti yang dilakukan oleh pelaku adalah agama dan faktor atou ideologi.[3] Pernyataan tersebut menguatkan dugaan akan pengaruh faktor lain, selain agama, yang menyebabkan terjadinya aksi-aksi teror. Jikalau orang yang melakukan aksi-aski teror tidak memiliki sikap dan jiwa yang militan, kemungkinannya kecil untuk melakukan hal demikian, sebab taruhannya terlalu besar, yakni menyangkut nyawa. Selain itu, yang membuat kelompok militan menjadi salah satu yang dicurigai adalah soal bom dan kemampuannya dalam bidang organisatoris serta komitmen yang kuat.
Kalau hanya melihat sepintas saja dari pengertian secara umum di atas, memang relatif kurang memuaskan. Namun, pada intinya dalam pendefinisian terorisme cukup terbilang sulit sehingga banyak persepsi yang mencoba untuk mendefinisikan hal tersebut. Salah satunya adalah Menurut Badan Intelijen Amerika, The Central Intelegence Agency (CIA), dalam suatu diskusi dengan Dinas Intelijen Inggris di tahun 1979, pengertian “terorisme” adalah The use of violence against civil interests to achieve political objective, penggunaan kekerasan untuk melawan kepentingan-kepentingan sipil guna mewujudkan target-terget politis, yang kemudian pengertiannya dikembangkan oleh CIA, bahwa pelaksananya bisa individu maupun kelompok. Dengan demikian oleh Bambang dirangkum menjadi : “Terorisme adalah tindakan kekerasan yang melanggar hokum yang dilakukan sekelompok orang sebagai jalan terakhir guna mewujudkan keinginannya yang tidak bisa dicapai dalam jalur resmi. (Bambang Abimanyu, 2005 : 130-131). Melihat pemaknaan tersebut, terlintas dibenak kita bahwa terorisme yang dimaksud di atas lebih menukik pada persoalan dan kepentingan politik. Sehingga apa yang dihasilkan dari pendefinisian di atas lebih bercorak politis.
Akan lebih menarik lagi kalau pendefinisian tersebut terlontar dari wajah-wajah yang bergelut dalam ranah agama. Oleh karena itu, ada beberapa kaum muda yang berjuang di Afghanistan; mereka mempunyai gairah keagamaan dengan paham keras, kaku, dan rigid. Bagi mereka, terorisme adalah pilihan hidup dan pilihan faham keagamaan. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan status sosial, baik kaya maupun miskin. Cara pandang mereka terhadap terorisme tergolong bercorak keagamaan yang lebih bersifat dogmatik, monolitik, dan teroristik.[4] Sebenarnya pandangan seperti inilah yang sering kali menjadikan agama sebagai kambing hitam dalam setiap persoalan terorisme.
Padahal secara garis besar, aksi aksi teror tidak semuanya berbau agama. Namun, ketika melirik pada cara pandang penganut agamanya seperti tersebut di atas, hal itu memang tidak menutup kemukinan akan terjadi justifikasi negatif terhadap agama. Lebih-lebih agama dijadikan sumber konflik.

D.  Pondasi tata susila agama Hindu
Setiap agama memiliki unsur-unsur dasar dalam pembentukan etika atau tata susila. Hadirnya tata susila akan berdampak positif bagi sikap prilaku umat manusia dalam beraktifitas dan bertindak. Tata susila secara implisit memberikan tuntunan bagi umat manusia dalam menjalankan kehidupan dengan cara yang baik dan tidak merugikan orang lain.
Dalam hal ini, Hindu menekankan terbentuknya tata susila atas dasar agama. Dimensi moralitas dalam agama Hindu sudah terpatri dalam kitab suci. Sehingga ada hal yang patut untuk dilakukan oleh manusia dan ada juga sesuatu yang tidak boleh dilakukan oleh manusia. Sebab, semua itu harus berpaku pada ajaran-ajaran agama yang sudah ada dalam kitab suci. Berangkat dari hal tersebut, ternyata sumber hukum agama Hindu yang mengatur pola tingkah laku individu adalah Weda, Smrti, Sila, Acara (sadacara), dan Atma tusti.[5] Kelima sumber tersebut seperti serangkaian sistem yang saling mengisi satu sama lain atau lebih bersifat simbiosi mutualistik.
Sumber rujukan pertama dari Hindu mengenai hukum dalam mengatur tingkah laku adalah Weda. Semisal seseorang sedang mengalami kesulitan, maka akan dipermudah dengan cara dituntun oleh weda. Namun, ketika weda yang ada saat sekarang tidak dapat menuntun, maka berpaling pada Smrti. Smrti ini berarti apa-apa yang diingat oleh pada maha rsi dari peninggalan weda. Jadi, hasil dari tuntunan Smriti tersebut sesuai dengan weda. Seandainya kitab-kitab Smrti tidak dapat memberi jawaban atas hal apa yang harus dilakukan? Maka setidaknya memedomani tingkah laku orang yang mahir dan memahami Smrti.  Seandainya orang yang memahami dan mahir tentang kitab-kitab Smrti tidak ada, maka sesuaiknlah tingkah laku dengan perbuatan perbuatan bajik dari orang orang yang yang tergolong sadhu (shaleh). Apabila orang-orang sadhu juga tidak dapat ditemukan dalam hal memberi arahan atau petunjuk untuk menentukan tingkah laku yang baik, maka berpeganglah pada keputusan kesadaran murni yang berarti (atma tusti) sambil berdoa kepada Tuhan agar diberikan petunjuk, bimbingan, dan pengayomanNya. (Ida Bagus Pudja, 2002:44).

E.  Paradigma konsep Ahimsa terhadap Terorisme
Membincangkan persoalan kekerasan yang terjadi di muka bumi, semuanya pasti akan lari pada sumber pokok masalah, yakni manusia. Ketika sudah mempersoalkan benar salah dan baik buruknya, hal itu akan lari pada sisi eksternal dan internal yang mempengaruhi watak sifat manusia. Adanya watak-sifat manusia itu nantinya akan melahirkan kondisi manusiawi (la condition humane).[6] Ketika watak-sifat manusia tidak dapat mengidentifikasi dirinya sendiri, artinya masih terkatung-katung oleh setiran orang lain, maka sulit bagi dia untuk menciptakan kondisi yang sesuai dengan harapanya. Sebab, karakter dasar dari manusia itu telah terkontaminasi oleh faktor eksternal.  
Dalam hal ini Hindu dalam salah satu butir tata susilanya terdapa konsep ahimsa. Ahimsa merupakan konsep anti kekerasan atau nir-kekerasan. Ahimsa atau nir-kekerasan merupakan pijakan dasar dalam mencari suatu kebenaran. Kata ahimsa secara etimologi berarti tidak menyakiti, tidak melukai atau berpikir ingin melukai makhluk apapun. Sedangkan secara terminologi, ahimsa itu merupakan dasar etika tradisional India terutama dalam doktrin Jainisme dan ajaran Mahatma Gandhi. Ahimsa adalah intisari kasih dan sifat manusia.
Selain hal itu, ada seorang Rsi Vyasa yang menyatakan bahwa, “ahimsa berarti tidak menyebabkan sakit atau menyakiti makhluk manapun, dengan sengaja atau kapan saja. Pengendalian diri dan disiplin yang berakar dari ajaran ahimsa memiliki kecenderungan untuk menyempurnakan ahimsa itu sendiri”. Ahimsa dalam ajaran Hindu diibaratkan sebagai istri Dharma (kebenaran).[7] Dalam hal ini, cukup jelas bagaimana agama Hindu menjaga kedamaian alam manusia dengan makhluk laen, sehingga menjadikannya suatu keharmonisan utuh.
Di dalam kitab Upanisad terdapat ungkapan yang amat berpengaruh sekali terhadap prilaku umat Hindu. Di sana dijelaskan bahwa Brahman Atma Aikyam. Maksud dari  kalimat itu adalah Brahma dan Atma adalah tunggal. Setiap manusia adalah setara karena setiap manusia pada hakekatnya adalah Vasudeva Kutumbakam, semua manusia bersaudara dan Tat Twam Asi, Aku adalah Engkau. Menunjukkan bahwa ada suatu ungkapan nilai yang kita kenal sebagai The Golden Rule, dimana dikatakan bahwa : Jangan berbuat kepada orang lain apa yang dia tak suka orang lain berbuat terhadap dirinya. (To Thi Ahn : 1984: 7). Teroris tidak pernah berfikir bahwa manusia itu setara, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah dihadapan Yang Kuasa. Ia menganggap dirinyalah superior dan orang lain inferior.[8]
Dalam hal ini, ketika mengaca pada konsep di atas, sudah terbilang sedikit mudah untuk memberi pandangan pada terorisme dari sudut pandang Hindu. Konsep ahimsa tersebut telah menganjurkan bagi umat Hindu untuk tidak bertindak kekerasan atau melakukan teror terhadap manusia maupun makhluk lain. Pada hakikatnya itu menyakiti dan mengganggu dirinya sendiri. Dan itu telah terpatri dalam Sloka dan Bhagawat Gita yang secara rinci menyebutkan bahwa;
Ahimsa artinya tidak membunuh-bunuh, brahmacari namanya tidak mau kawin, satya artinya tidak berkata bohong, awyawaharika namanya tidak berselisih, tidak berjual beli, tidak berbuat dosa karena kepintaran. Astainya namanya tidak mencuri, tidak mengambil milik orang lain bila tidak dapat persetujuan kedua pihak. (Wrhaspati Tattwa. 60)[9]
Orang yang melihat Tuhan yang kekal dan abadi bersemayam merata di dalam makhluk yang tidak kekal dialah sebenarnya yang melihat. (BG XIII 27)[10]

Beberapa bait-bait Sloka yang menyatakan bahwa “ahimsa ngaranya tan pamati-mati” atau (ahimsa artinya tidak membunuh-bunuh) di atas semakin memperjelas dan mempertegas bagaimana pandang Hindu terhadap aksi-aksi kekerasan atau terorisme yang sering terjadi di muka bumi ini yang bertentangan dengan konsep etika dasar Hindu yakni Panca Yama Brata. Berdasarkan wejangan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbuatan yang dilakukan melulu untuk orang lain melainkan juga untuk dirinya sendiri. Oleh karena itu, orang yang sering melakukan aksi teror sebenarnya tidak pernah menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya nantinya akan kembali pada dirinya sendiri. Apalagi dalam ajaran Hindu ada hukum karma atau sebab akibat. Ketika seseorang menanam benih, mau tidak mau dia harus bertanggung jawab atas buah yang ditanamnya.
Meskipun pada sejarahnya Hindu, tempat lahirnya agama Hindu di India seringkali terjadi aksi-aksi teror, khususnya terhadap umat Buddha, namun hal tersebut merupakan bentuk suatu pembelaan untuk melindungi kenyamanan umat Hindu yang dilakukan oleh watak seorang Ksatria. Salah satu dari empat nilai yang ada dalam catur warna yang memiliki swadarma atau kewajiban sebagai seorang prajurit, seorang administrator, yang berani membela kemanusiaan dan kebenaran, apapun risiko yang menjadi taruhannya, itulah yang menjadi basic dasar seorang Ksatria dalam membela agama dan kemanusian. Dan tindakan tersebut bukanlah wujud dari terorisme. Karena seorang teroris merupakan suatu tindakan yang tidak ksatria sama sekali, karena motivasi yang melatar belakanginya adalah interes pribadi, egoisme dan tidak secara jantan memperjuangkan apa yang menjadi tujuannya.[11]  
Ada seorang tokoh fenomenal yang tidak pernah dilupakan oleh sejarah akan dedikasinya untuk menegakkan perdamaian dan kenyamanan di muka bumi, dia adalah Mahatma Gandhi. Konsep Ahimsa Gandhi merupakan suatu konsep yang kaya dan kompleks. Pada dasarnya, Ahimsa adalah aksi yang didasarkan atas penolakan terhadap perbuatan merusak. Mahatma Gandhi sering kali mengingatkan akan pentingnya perbedaan antara “ahimsa” dan “himsa”. Karena kedua istilah tersebut sangat vital sekali apabila dipahami secara keliru. Gandhi berucap bahwa Ahimsa adalah penolakan terhadap kekerasan. Sedangkan Himsa merupakan kekerasan.[12] Konsep Ahimsa memang terbilang sulit untuk dipahami. Namun Gandhi berucap bahwa metode satyagraha atau kekuatan kebenaran yang pada dasarnya bermakna kekuasaan kebenaran yang dimanefestasikan melalui nir-kekerasan, dalam kenyataanya adalah seni hidup dan mati. Di mana kematian yang dimaksud oleh satyagraha adalah sikap menghadapi kematian dengan suka cita dalam menjalankan tugas seseorang.
Ahimsa dan Satyagraha merupakan satu kesatuan utuh yang tidak terpisahakan. Kalimat terakhir dari pernyataan Gandhi di atas perlu dicermati secara mendalam oleh praktisi ahimsa. Karena yang dimaksud Gandhi dalam kalimat itu adalah orang-orang yang mengemban tugas menjalankan konsep ahimsa bukan orang yang pengecut dan malu-malu. Ia merupakan jalan bagi orang pemberani yang siap menghadapi kematian. Sebab, orang yang denga pedang di tangan tidak diragukan lagi berani, tetapi orang yang menghadapi kematian tanpa mengangkat kelingkingnya dan tanpa gentar tentunya lebih berani.[13] Dan metode yang digunakan untuk meredam terorisme tersebut adalah metode satyagraha Mahatma Gandhi. Gandhi berucap bahwa satyagraha adalah berpegang teguh pada kebenaran, sehingga melahirkan kekuatan kebenaran. Dan itu juga bisa disebut sebagai “kekuatan cinta-kasih” atau “kekuatan-jiwa”. Ketika menerapkan satyagraha, dalam tahapan paling awal, harus ada kesadaran akan pencarian kebenaran yang tidak boleh menggunakan kekersan terhadap musuh, justru harus menginsyafkan musuh dari kesalahannya.[14]
Kata akhir yang pantas untuk mengakhiri makalah ini adalah senandung indah dari Sri Krishna tentang Daiwi Sampat (kecenderungan kedewataan)  yakni kecenderungan manusia dalam melangkah kearah yang mulia dengan budi yang luhur  agar memperoleh kedamaian dan keselarasan. Serta dibarengi oleh perenungan akan atma yang bersemayam dalam tubuh manusia adalah saksi yang juga tak bisa ditipu. Yang terakhir adalah berusaha selalu mengingat akan adanya hukum aksi reaksi atau hukum karma:
Siapapun berdiri, berjalan, bergerak dengan sembunyi-sembunyi, siapapun yang mebaringkan diri atau bangun, apapun yang dua orang duduk bersama-sama bisikan satu denga yang lainya semua itu Tuhan Sang Raja mengetahuinya, ia adalah yang ketiga hadir di sana (Atharwa Weda 11. 16.2)

Sorga dan neraka semuanya itu adalah indriya kita
Bila kita kendalikan ia adalah sorga, tetapi bila kita bebaskan ia adalah neraka (Sarasamuccaya 77)[15]

F.   Kesimpulan
Setelah menganalisa secara seksama dapat dilihat bahwa ajaran Hindu tidak mengajarkan akan prilaku kekerasan apalagi terorisme. Malah sebaliknya, Hindu mengajarkan akan pentingnya menyebarkan perdamaian dengan konsep tata susila yang bersumber pada Weda, Smrti, Sila, Acara (sadacara), dan Atma tusti. Semua itu memberikan gamabaran bahwa Hindu memandang terorisem sebagai perbuatan yang salah dan bertentangan dengan dharma Hindu. Karena dharma Hindu adalah kebenaran yang bersumber dari ajaran kitab-kitab dan Ahimsa dalam ajaran Hindu diibaratkan sebagai istri Dharma (kebenaran).
Hindu Gandharian menyatakan bahwa aksi-aksi terorisme merupakan tindakan yang tidak menyadarkan diri dan tidak berpatokan pada ajaran tata susila Hindu yang menekankan akan kesatuan Brahman dan Atman. Oleh karena itu, Gandhi menelorkan Ahimsa, yakni sebuah konsep yang berarti menjunjung perdamaian dan memerangi kekerasan dengan kebenaran Tuhan (satyagraha).


[1] Power point tentang Sejarah Hindu yang disampaikan pada materi Hinduisme setiap hari senin dan rabu, di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta fakultas Ushuluddin jurusan Perbandingan Agama 2010-2011.
[2] Suhadi Cholil (ed), Resonansi Dialog Agama dan Budaya Dari Kebebasan Beragama, Pendidikan Multikurlural, Sampai RUU Anti Pornografi, (Yogyakarta: CRCS, 2008), hlm. 327.
[3].“Pelaku Bom Kuningan Nurdin Azis Cs” lihat dalam http:// http://www.bengkuluekspress.com/ver3/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=8&artid=7463 diakses tanggal 20 Desember 2009.
[4] Bambang Abimayu, Teror Bom Di Indonesia, (Jakarata: Grafindo Khazanah Ilmu, 2005), hlm. 133-134.
[5] Ida Bagus Pudja, Buku Pelajaran Agama Hindu, (Yogyakarata: UPT-UNY, 2002), hlm. 44.
[6] Louis Leahy, Siapakah Manusia? Sintesis Filosofis Tentang Manusia, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 22.
[7] Dharam Vir Singh, Hinduisme Sebagai Pengantar, terj. I. G. A. Dewi Paramitha, (Surabaya: Paramita, 2007), hlm. 89.
[8] Wayan S Satria,  “Hindu dan Terorisme” dalam http://stahdnj.ac.id/?p=206 diakses tanggal 6 Desember 2010.
[9] Ida Bagus Rai Wardhana,  Agama Hindu, (Jakarta: Hanuman Sakti, 1999), hlm. 29.
[10] Bait-bait Bhagawat Gita tersebut menyiratkan suatu makna akan kesatuan antara Brahman dan Atman atau Tuhan dan Jiwa abadi dalam diri manusia. Segala sesuatu yang ada di muka bumi, di sana terdapat unsur-unsur Tuhan yang bersemayam. Karena nantinya unsur Tuhan tersebut akan kembali dan menyatu dengan Tuhan Brahman. Hal itu terkandung dalam satu kalimat yakni tat twam asi. Lihat, Ida Bagus Pudja, Buku Pelajaran Agama Hindu,hlm. 44-45.
[11] Wayan S Satria,  “Hindu dan Terorisme” dalam http://stahdnj.ac.id/?p=206 diakses tanggal 6 Desember 2010.
[12] Pada hakikatnya semua agama tidak pernah mengajarkan kekerasan, malah sebaliknya mengajarkan perdamaian. Dalam hal ini, Mahatma Gandhi mencoba meredam kekerasan tersebut dengan konsep Ahimsa (nir kekerasan). Lihat,  Chaiwat Satha-Anand, Agama dan Budaya Perdamaian, terj. Taufik Adnan Amal, (Yogyakarata: FkBA-Quaker International Affairs-PSPK UGM, 2002), hlm. 50.
[13] Chaiwat Satha-Anand, Agama dan Budaya Perdamaian, hlm. 51.
[14] Istilah satyagraha ini sebenarnya diperoleh Mahatma Gandhi ketika dia tinggal di Afrika Selatan. Satyagraha merupakan kekuatan yang digunakan oleh orang india di Afrika selatan dalam perjuangan mereka selama 8 tahun penuh. Penggunakan istilah satyagraha itu sangat pentin untuk membedakan dengan gerakan yang berlangsung di Inggris dan Afrika Selatan yang bernama “perlawanan pasif”. Tapi, satya bagi Gandhi adalah kebenaran terbesar yang merupakan kesatuan seluruh kehidupan “kebenaran adalah Tuhan”. Lihat, Jhon Dear (ed), Intisari Ajaran Mahatma Gandhi: Spiritualitas, Sosio-politik dan Cinta Universal, terj. Siti Farida, (Bandung: Nusamedia, 2007), hlm. 141.
[15] Ida Bagus Rai Wardhana, Agama Hindu, (Jakarta: Hanuman Sakti, 1999), hlm. 38.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;